Tuesday, October 25, 2016

Kisah Seorang Sinyo

[No. 370]
Judul : Kisah Seorang Sinyo
Penulis : Fried Muller
Penerjemah : Sugihardjo Adirono
Penerbit : Katarsis Book
Cetakan I : Juli 2016
Tebal : 107 hlm

Buku ini adalah memoar Fried Muller, seorang sinyo Belanda berdarah campuran Jerman -Indonesia. Fried Muller  lahir di Purwakarta pada 9 September 1933.  Ayahnya bekerja sebagai masinis kereta api di Cibatu, Garut - Jawa Barat.  sebuah desa kecil yang terletak di persimpangan jalan kereta api  Bandung - Yogyakarta.  

Dalam memoarnya ini Fried Muller mengisahkan pengalaman dan pergulatan hidupnya mulai dari masa kecilnya di Cibatu-Garut, Batavia, Jogya, hingga dewasa dan harus pulang ke Negeri Belanda. Kisahnya melintas berbagai zaman, mulai dari zaman kolonial,  penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, hingga paska Indonesia merdeka,

Ada banyak hal menarik tentang situasi sosial, politik, dan budaya Indonesia di mata seoang 'sinyo' Indo yang bisa pembaca peroleh dari memoar ini. Melalui memoar yang dilengkapi dengan beberapa foto pembaca bisa melihat seperti apa suasana kehidupan orang-orang Belanda dan orang-orang Indonesia,serta bagaimana hubungan antara keduanya berdasarkan  kacamata seorang Belanda-Indo

Kedekatan antara pelayan dan anak tuannya yang sering kita dengar dalam roman-roman atau kisah kehidupan di era kolonial terwakili dalam memoar ini. Fried sendiri memiliki hubungan yang sangat dekat dengan perempuan tukang cuci

"Kami juga mempunyai babu perempuan tukang cuci pakaian bernama Cuci.....Babu Cuci selalu menjadi tempat pelarianku. Aku selalu lari kepadanya untuk bersembunyi jika ada yang karena alasan tertentu ingin memberi pukulan padaku atau karena alasan lain apapun. Dia melebihi ibuku sendiri...karena dialah yang selalu memberi aku makan dan asuhan. Babu Cuci mengajar aku bicara bahasa Indonesia. Dia juga memberiku nama Sinyo.." (hlm 7-8)

Selain kisah pengalaman Fried selama berada di Hindia memoar ini juga berisi pergulatan batin dirinya, sebagian besar didominasi tentang pergumulan dirinya sebagai seorang berdarah campuran atau Indo. 

Di masa peperangan, ketika Jepang menyerbu Hindia kehidupan orang-orang Eropa berubah drastis, mereka yang tadinya hidup dalam kemerdekaan tiba-tiba harus masuk dalam kamp-kamp interniran. Demikian juga keluarga Muller. Ayah Fried ditawan sehingga ia beserta ibu dan saudara-saudaranya harus bertahan hidup di luar mencari makanan. Bukan hal yang mudah karena disinilah identitasnya sebagai orang Indo mulai menjadi kesulitan bagi Fried dan keluarganya. Hubungan  antara penduduk pribumi dengan orang  Eropa dan Indo yang tadinya harmonis menjadi berubah karena perang.

Selama 3,5 tahun peperangan, tidak ada satupun orang Indonesia yang pernah menawarkan kepadaku makanan atau bantuan. Bagi mereka kami tidak ada sama sekali....Sedari kecil aku aku tidak pernah mengerti mengapa kami selalu dipaksa memilih pihak Belanda, padahal oleh orang-orang Belanda sendiri kami dianggap sebagai warga negara kelas dua. Bahkan waktu aku ditahan di kamp juga diperlakukan begitu.
(hlm48)
 
Tadinya Fried Muller berpikir bahwa kesulitan sebagai warga kelas dua akan sirna ketika ia kembali ke negeri Belanda. Ternyata tidak, alih-alih mendapat sambutan hangat ketika kembali ke Belanda, ternyata para Belanda- Indo mendapat perlakuan yang sangat dingin. Rupanya pemerintah sosialis yang tengah berkuasa di Belanda saat itu menginginkan agar orang Belanda-Indo dari daerah jajahan tidak pulang ke negeri Belanda.

Di Belanda mereka (kaum sosialis) sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di daerah jajahannya. Mereka sama sekali tidak tertarik pada hal-hal yang terjadi di wilayah koloni. Bahkan dalam buku-buku sejarah tidak ditemukan apa-apa mengenai penjajahan yang lamanya 300 tahun
(hlm 71)  

Tidak hanya berdasarkan pengalaman pribadinya melalui memoar ini juga penulis memberi  penjelasan bagaimana dan mengapa setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia secara resmi pada tanggal 27 Desember 1949 orang-orang Indo memilih meninggalkan Indonesia karena mereka khawatir terjadi rasisme setelah Indonesia benar-benar merdeka. Namun banyak juga yang karena pertimbangan keluarga, mengajukan permohonan untuk memperoleh status kewarganegaaan Indonesia. 

Seperti yang dialami Fried Muller, mereka yang pulang ke Belanda disambut sangat dingin dan sebagian besar ditampung di rumah-rumah pensiun kontrakan atau di kamp-kamp militer tua, Pemerintah Belanda waktu itu berharap mereka tidak datang ke Belanda, dan mempropagandakan supaya para Belanda-Indo migrasi ke Papua New Guinea untuk menjalankan rezim kolonial serta membantu pembangunan.

Di akhir memoarnya Fried Muller mencatat tentang generasi ketiga para imigran Belanda-Indo yang menetap di Belanda. Mereka akhirnya bisa memecahkan masalahnya dalam kehidupan di Belanda dan membuat gaya hidup Belanda khas sendiri dan menjadikan penduduk dan budaya Belanda lebih beragam lagi.

Dengan kedatangan mereka, masakan Belanda lebih bervariasi dan warna kulit Negeri Belanda menjadi lebih gelap. Banyak orang Indo generasi ketiga sekarang mencari kembali asal usul mereka, "back to roots" dan dengan cara masing-masing ingin memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia. 
(hlm 100-101)

@htanzil

No comments:

Post a Comment